Sidang Umum PBB ke-80 (UNGA80) melahirkan banyak headline, dari retorika tajam tokoh lama hingga seruan emosional para pemimpin negara konflik. Namun di antara rangkaian pidato itu, pernyataan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, tampil menonjol berkat ambisinya, simbolismenya, dan kejutan yang dibawanya.
Berbicara atas nama negara berpenduduk terbesar keempat di dunia sekaligus demokrasi Muslim terbesar, Prabowo membawa tiga pesan penting: dukungan penuh pada solusi dua-negara Israel–Palestina, tawaran kontribusi hingga 20.000 pasukan perdamaian Indonesia, dan penutup multifaith yang gaungnya melampaui ruang sidang PBB. Ketiganya membentuk apa yang oleh sebagian analis disebut sebagai “momen Global South.” Tetapi pertanyaan utama tetap: bisakah Indonesia mengubah ambisi retoris ini menjadi realitas operasional?
Dari Suara Moral ke Pemecah Masalah
Selama puluhan tahun, Indonesia dikenal sebagai “suara moral” dunia berkembang. Para pemimpinnya menekankan kedaulatan, non-blok, dan solidaritas dengan bangsa tertindas. Pidato Prabowo menandai pergeseran halus tapi penting: Indonesia kini tak hanya berbicara soal prinsip, tetapi juga menawarkan instrumen nyata perdamaian.
Janji mengirim salah satu kontingen nasional terbesar dalam sejarah penjaga perdamaian menempatkan Indonesia dalam cahaya baru. Jakarta ingin dilihat bukan sekadar pencari konsensus, melainkan pemecah masalah yang sanggup menyiapkan sumber daya pada skala yang biasanya didominasi kekuatan besar.
Reposisi ini penting. Di PBB yang sering terbelah antara Utara dan Selatan, hadirnya negara Global South yang kredibel dan siap mendukung kata-kata dengan tindakan bisa mengubah persepsi tentang siapa yang berhak memimpin.
Janji Pasukan Perdamaian: Ambisi Bertemu Realitas
Tawaran “hingga 20.000” personel Indonesia langsung menjadi sorotan. Namun, para analis cepat mengingatkan bahwa pengerahan penjaga perdamaian jauh lebih kompleks daripada sekadar kehendak politik. Ia bergantung pada otorisasi Dewan Keamanan, aturan keterlibatan yang jelas, rantai logistik, jaminan pendanaan, dan koordinasi dengan kontributor pasukan lain.
Indonesia memang memiliki rekam jejak baik dalam misi PBB, dengan sekitar 2.700 personel aktif di berbagai operasi. Namun melipatgandakannya hampir sepuluh kali lipat akan menguji kapasitas militer sekaligus kemampuan PBB menyerap kekuatan sebesar itu. Tanpa mandat yang jelas, janji ini berisiko dibaca sebagai simbolis semata.
Meski begitu, ambisi tetap punya nilai. Dengan menempatkan angka besar di atas meja, Prabowo memberi urgensi baru pada perdebatan tentang pengaturan keamanan pascaperang Gaza. Langkah ini juga mengirim sinyal kepada mitra—negara Arab, kekuatan Barat, dan PBB—bahwa Indonesia siap menanggung beban besar, jika yang lain mau berbagi.
Soft Power Melalui Pluralisme
Selain angka, pidato Prabowo juga sarat simbolisme. Penutupnya—“Wassalamu’alaikum, Shalom, Om Shanti, Namo Buddhaya, Tuhan Memberkati Kita Semua”—menjadi viral di Asia Selatan dan Tenggara. Media India, Singapura, hingga Malaysia memuji gestur tersebut sebagai bukti DNA pluralisme Indonesia.
Di dunia yang makin terpolarisasi, gestur semacam ini punya arti. Ia memproyeksikan Indonesia bukan sebagai aktor partisan, melainkan jembatan peradaban. Bagi negara yang di dalam negeri hidup dengan keberagaman, menerjemahkan ethos ini ke panggung global memperkuat daya tarik diplomasi Indonesia.
Simbolisme itu juga selaras dengan tren diplomasi lebih luas. Saat kekuatan Barat kesulitan menjaga legitimasi di mata Global South, dan negara-negara Timur Tengah merumuskan ulang aliansi, suara non-hegemonik seperti Indonesia dapat memainkan peran unik sebagai perantara.
Ujian Jangka Pendek
Namun simbolisme harus segera diikuti substansi. Para analis mengidentifikasi tiga ujian dalam 90 hari ke depan:
- Cetak Biru Teknis: Indonesia perlu menyerahkan non-paper ke Dewan Keamanan berisi komposisi pasukan, level kesiapan, logistik, dan aturan pelibatan.
- Koalisi Diplomatik: Indonesia harus merangkul mitra—khususnya OIC dan ASEAN—ke dalam “Kelompok Inti” yang bisa bersama-sama mensponsori proposal.
- Politik Mandat: Setiap misi berarti otorisasi DK PBB. Di sini, Indonesia akan menghadapi dinamika veto negara P5, terutama AS dan Rusia yang punya kepentingan kompleks di Timur Tengah.
Tanpa langkah-langkah itu, pidato Presiden Prabowo bisa tereduksi jadi momen retorika. Dengan keberhasilan, bahkan parsial, Indonesia bisa naik kelas sebagai inovator multilateral serius.
Risiko dan Kontradiksi
Setiap inisiatif sebesar ini tentu membawa risiko. Yang paling nyata adalah jurang retorika–realisasi: janji berlebihan tanpa tindak lanjut akan merusak kredibilitas Indonesia. Dari dalam negeri, muncul pertanyaan soal sumber daya. Indonesia menghadapi prioritas sosial-ekonomi mendesak; pengerahan besar di luar negeri akan menguji anggaran dan konsensus politik.
Ada juga soal tata kelola. Pengamat internasional menyoroti gaya politik Prabowo yang menekankan sentralisasi militer. Kritik mengingatkan, peran penjaga perdamaian global harus diiringi transparansi, pengawasan sipil, dan kepatuhan HAM.
Faktor geopolitik pun bisa menghambat. Negara-negara Arab mungkin mendukung, tetapi Israel akan skeptis kecuali keamanan nasionalnya dijamin. Barat bisa memberi dukungan prinsip, namun ragu untuk menyumbang dana atau modal politik.
Mengapa Tetap Penting
Terlepas dari keterbatasan, pidato ini telah mencapai tiga hal. Pertama, menaikkan profil Indonesia, memastikan Jakarta tak bisa diabaikan dalam diskusi serius pascaperang Gaza. Kedua, memperluas perdebatan dari sekadar retorika gencatan senjata menjadi proposal operasional. Ketiga, menyuntikkan optimisme bahwa negara-negara Global South bisa beralih dari keluhan menjadi agen perubahan.
Dengan kata lain, pidato ini mencerminkan apa yang disebut sebagian analis sebagai “diplomasi performatif dengan potensi katalitik.” Meski pasukan 20.000 tak pernah terwujud, keberanian mengusulkannya sudah menggeser ekspektasi tentang apa yang bisa disumbangkan Indonesia.
Harapan Bertemu Realpolitik
“Seruan Indonesia untuk Harapan” adalah pidato yang ambisius sekaligus simbolis. Ia mengajak dunia membayangkan peran lebih besar bagi Indonesia dalam membentuk perdamaian, sekaligus mengingatkan bahwa solusi tidak harus selalu datang dari kekuatan besar.
Apakah momen ini bisa berubah menjadi pengaruh berkelanjutan, bergantung pada tindak lanjut: proposal teknis, koalisi diplomasi, dan kesiapan nyata. Risiko berlebihan memang ada, tapi peluang juga terbuka.
Bagi Indonesia, UNGA80 bisa dikenang sebagai titik di mana negeri ini melangkah melampaui seruan moral dan mulai meraih kepemimpinan global. Kini, dunia menanti apakah langkah itu bisa diwujudkan.