Sepuluh Pemuda Pertama

Sepuluh Pemuda Pertama
Sepuluh Pemuda Pertama

Malam di BPU Desa Kersik yang sederhana: forum disusun melingkar, mikrofon yang suaranya kadang serak, dan dinding yang menyimpan bekas poster kegiatan lama. Namun dari ruang seperti itu, keputusan penting sering lahir. Di tengah lingkaran itulah saya menyampaikan kembali kalimat yang tidak pernah basi: “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Bukan untuk beretorika, melainkan untuk menandai arah: masa depan desa tidak menunggu gedung baru; ia bergerak ketika anak mudanya saling menggandeng.

Saya menulis ini bukan sebagai pejabat yang sempurna, melainkan sebagai tetangga yang percaya pada tenaga muda. Kita sering menyebut pemuda sebagai “harapan bangsa” seolah-olah harapan itu masih jauh. Padahal, yang saya lihat malam itu sudah cukup meyakinkan: tatapan yang berani, cara bertanya yang tajam, dan kesediaan untuk mendengar kritik. Pemuda bukan esok hari; pemuda adalah hari ini.

Kepemimpinan anak muda, bagi saya, tidak diukur dari kelancaran pidato atau banyaknya spanduk. Kepemimpinan itu hadir pada hal-hal yang tampak sepele: mau terlibat, menepati janji, mau turun tangan memindahkan kursi ketika acara bubar, berani meminta maaf ketika salah, dan sanggup merangkul kawan yang berbeda pandangan. Desa membutuhkan kepemimpinan jenis ini—yang halus tapi bekerja; yang tidak sibuk menonjolkan diri, melainkan sibuk menyala-kan orang lain.

Di sinilah organisasi menemukan peran yang tak tergantikan. Karang Taruna, misalnya, bukan sekadar nama dalam struktur; ia adalah sekolah kepemimpinan paling kontekstual yang kita punya. Kurikulumnya adalah masalah-masalah di sekitar: UMKM yang butuh difoto produknya, lapangan yang perlu dirapikan, acara yang harus bebas sampah, anak remaja yang memerlukan ruang aman untuk berbagi cerita. Gurunya adalah warga sendiri: pedagang pasar, perawat puskesmas, guru sekolah, petani yang tahu kapan langit sedang berpihak. Ujiannya sederhana dan sekaligus berat: apakah hidup warga menjadi sedikit lebih mudah setelah kita bergerak?

Berorganisasi melatih kita untuk bertahan lebih lama dari semangat sesaat. Di ruang rapat, ide tidak dibiarkan menguap; ia dicatat, diperdebatkan, dan disepakati bersama. Di sana kita belajar menerima bahwa tidak semua keinginan bisa dipenuhi, tetapi kebanyakan hal bisa dicari jalannya. Di sana pula kita belajar bahwa keberhasilan milik bersama, dan kegagalan pun tidak perlu dicari kambing hitamnya. Organisasi memberi kita memori, ritme, dan tanggung jawab. Tanpa itu, gerak akan cepat lelah.

Ada yang bertanya kepada saya, mengapa terus-menerus mengajak pemuda untuk terlibat? Karena saya melihat sendiri tiga hal yang mereka bawa. Pertama, kecepatan belajar—mereka menyalakan gawai bukan hanya untuk bersenang-senang, tetapi untuk mencari cara baru memasarkan produk tetangga. Kedua, jaringan yang cair—mereka mudah menyambung isu desa dengan jejaring kampus, komunitas kota, bahkan diaspora perantau. Ketiga, energi moral—kegelisahan yang sehat, yang membuat mereka bertanya: “Mengapa tidak bisa lebih baik dari ini?” Jika tiga hal itu dipertemukan dengan dukungan desa yang jujur, kita punya momentum yang sulit dihentikan.

Tentu, selalu ada godaan untuk sinis. “Ah, rapat lagi.” “Nanti juga bubar.” “Dari dulu begitu.” Sinisme terasa cerdas di mulut, tetapi sesudahnya tidak ada apa-apa. Malam itu, saya memilih percaya pada yang berbeda: pada tangan-tangan yang merapikan ruangan setelah semua pulang, pada kamera ponsel yang dipakai merekam kegiatan bukan untuk pamer, melainkan untuk catatan belajar, pada tawa yang tetap sopan bahkan ketika perbedaan pendapat memanas. Percaya—kata yang sederhana, tetapi justru itulah yang membuat desa bisa berjalan.

Saya menyampaikan sambutan dengan ajakan yang sama setiap kali berbicara di depan pemuda: kita tidak perlu menunggu ribuan orang. Cukup sepuluh pemuda pertama yang siap konsisten; setelah itu, yang lain akan datang bukan karena terbuai slogan, melainkan karena melihat bukti. Sepuluh pertama yang berani meminjam bahu untuk membawa meja, menahan diri ketika debat, dan terus kembali minggu depan meski dikritik. Sepuluh pertama yang tidak sibuk menanyakan “apa jatahku”, melainkan “di mana aku bisa berguna”.

Jika Anda adalah bagian dari lingkaran itu—yang duduk di BPU desa, mengangkat tangan untuk berbicara, atau diam-diam merekam acara agar ada arsipnya—ketahuilah: desa ini menaruh harap pada Anda, bukan besok, melainkan hari ini. Karang Taruna, dengan segala keterbatasannya, adalah panggung belajar yang cukup untuk menjadi pemimpin yang matang: pemimpin yang mengerti warganya, hafal jalan tikus desanya, dan peka pada suara paling pelan di sudut ruangan.

Perubahan desa tidak selalu terdengar meriah. Kadang ia hanya suara kursi digeser, kertas notulen dilipat, dan lampu BPU desa yang dimatikan paling akhir. Tapi dari hal-hal kecil seperti itu, kita belajar satu hal besar: pembangunan adalah kebiasaan yang dirawat bersama. Dan kebiasaan itu, hari ini, berada di tangan pemuda yang berani berorganisasi, memimpin, dan bertahan.

Facebook
Twitter
LinkedIn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru