Ada satu tempat di Kersik yang membuat langkah terasa melambat, seolah waktu sengaja memberi jeda. Namanya Pantai Biru Kersik. Bukan hanya tentang hamparan lautnya yang membiru—atau menghijau saat sore menjelang—tetapi juga tentang suasana yang mengikat hati.
Menjelang petang, deretan bangku taman di tepi jalan mulai terisi. Ada yang duduk santai sambil memandangi lapangan hijau, di mana anak-anak muda berlari mengejar bola. Teriakan semangat mereka berpadu dengan deru angin, menciptakan harmoni sederhana yang hanya bisa ditemukan di desa-desa yang masih memelihara kebersahajaan.
Di seberang jalan, warung-warung kecil mulai ramai. Ibu-ibu dan remaja berkumpul, saling bertukar cerita sambil menikmati kopi panas atau segelas es teh manis. Aroma bisang keju dan tela-tela khas desa melayang di udara, mengundang siapa saja untuk singgah.
Namun pesona terbesar ada di sisi lainnya: hamparan laut luas yang menyapa mata dengan warna hijau kebiruan berlahan menjadi biru tua dan menghitam ditinggal cahaya matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Angin laut sore membawa kesejukan dan aroma asin yang khas, menenangkan hati seperti pelukan ibu yang lama dirindukan.
Di sini, tidak ada hiruk pikuk kota. Yang ada hanya suara dedaunan yang berbisik, tawa anak-anak, dan detak ombak yang jauh di bibir pantai. Di sini, kita belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu tentang kemewahan—kadang ia hadir dalam bentuk bangku taman, secangkir kopi, dan pemandangan senja yang tidak terburu-buru pergi.
Desa Wisata Kersik bukan sekadar tujuan, tapi pengalaman. Sebuah ajakan untuk berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan mengingat bahwa hidup bisa dinikmati dengan cara yang sederhana namun bermakna.