Menyelesaikan Sengketa Tanpa Ribut di Meja Hijau

Menyelesaikan Sengketa Tanpa Ribut di Meja Hijau_result
Menyelesaikan Sengketa Tanpa Ribut di Meja Hijau_result

Di desa, masalah itu tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berpindah bentuk—hari ini mungkin soal batas tanah, besok bisa berubah jadi sengketa warisan, lusa soal harga gabah atau ikan. Selama lima tahun lebih saya memimpin desa Kersik, saya belajar satu hal: perdamaian tidak lahir dari palu hakim, tetapi dari hati yang mau duduk bersama.

Saya tidak sedang meremehkan pengadilan. Perannya jelas vital. Tapi, mari jujur—berapa banyak sengketa yang sebenarnya bisa selesai di kantor desa, di warung kopi, atau di teras rumah warga, kalau kita mau menempuh jalur damai?

Pohon Mangga dan Dua Tetangga

Saya akan bercerita sedikit, cerita ini hanya ilustrasi agar mudah dipahami, nama dan kejadian bukan fakta yang sesungguhnya, tapi fakta yang sejenis ini ada, hehehe…. Bagaimana satu pohon mangga nyaris memutus silaturahmi dua keluarga. Pohon itu tumbuh di batas tanah Pak Fulan dan Pak Fulin. Batangnya di lahan satu pihak, tapi buahnya sering jatuh di pekarangan pihak lain.

Awalnya hanya sindir-sindiran ringan di warung, lama-lama menjadi bisu-bisuan. Anak-anak mereka pun ikut menjauh. Satu RT mulai terbelah. Semuanya gara-gara sebuah pohon.

Kalau kasus ini dibawa ke pengadilan, mungkin akan memakan waktu berbulan-bulan dan biaya tak sedikit. Hubungan baik? Bisa dipastikan rusak selamanya.

Non-Litigasi: Jalur yang Sering Terlupakan

Di dunia hukum, ini disebut penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non-litigasi. Bentuknya bisa macam-macam:

  • Negosiasi: bicara langsung mencari solusi.
  • Mediasi: ada pihak ketiga yang memfasilitasi.
  • Konsiliasi: pihak ketiga memberi usulan solusi.
  • Pendapat ahli: memanggil pakar untuk kasus teknis.
  • Arbitrase: keputusan final dari pihak ketiga yang disepakati.

Kuncinya hanya satu: kesediaan untuk berdamai. Tanpa itu, semua metode hanyalah formalitas.

Di Kantor Desa

Hari itu, berdasarkan laporan ketua RT setempat saya undang mereka, Pak Fulan dan Pak Fulin ke kantor desa. Kami siapkan teh hangat dan cemilan. Kantornya tidak mewah dan besar, hanya ruangan sederhana khas di desa.

Saya mulai dengan kalimat sederhana:

“Bapak berdua ini bertetangga sejak muda. Sayang kalau pohon memisahkan yang sudah disatukan waktu.”

Perlahan, semua uneg-uneg keluar. Tidak ada teriakan, hanya cerita. Tidak ada saling tunjuk, hanya saling dengar. Dan di situlah titik baliknya. Mereka sepakat membagi hasil mangga secara adil, bahkan memanen bersama. Kami tuangkan kesepakatan itu di atas kertas, ditandatangani, disaksikan ketua RT dan perangkat desa.

Pelajaran yang Tak Tertulis di Kitab Undang-Undang

Jalur non-litigasi itu ibarat air: mengalir, mencari celah, menyelesaikan masalah tanpa menghancurkan batu hubungan. Ia cepat, murah, dan yang paling penting—tidak mengorbankan rasa saling percaya.

Di desa, kita hidup berdampingan, saling bertemu setiap hari. Menang di pengadilan belum tentu menang di hati. Tapi berdamai? Itu kemenangan yang dirasakan bersama.

Mangga Perdamaian

Beberapa bulan kemudian, saya lewat di depan rumah Pak Fulan. Ia dan Pak Fulin duduk di bawah pohon mangga itu, tertawa sambil mengupas buah. Anak mereka berlari menghampiri saya, menyerahkan satu mangga besar.

“Ini, Pak Kades, mangga perdamaian,” katanya.

Saya tersenyum. Dalam hati, saya tahu: di dunia yang semakin bising ini, musyawarah adalah bahasa yang mulai langka. Dan kita punya kewajiban untuk menjaganya.


Catatan Hukum untuk Pembaca

Bagi pembaca yang ingin menempuh jalur damai seperti kisah di atas, berikut panduan singkat berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia:

Dasar Hukum

  • UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) – mengatur jalur damai seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi, pendapat ahli, dan arbitrase.
  • Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan – meski berlaku di pengadilan, prosedurnya dapat diadaptasi untuk penyelesaian di luar sidang.
  • UU No. 4 Tahun 2004 & PP No. 72 Tahun 2005 Pasal 15(1)(k) – mengakui peran kepala desa sebagai mediator sengketa di tingkat lokal.

Tahapan Umum Non-Litigasi

  1. Sepakati secara sukarela untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.
  2. Pilih metode: negosiasi, mediasi, konsiliasi, pendapat ahli, atau arbitrase.
  3. Dokumentasikan kesepakatan secara tertulis dan jelas.
  4. Bila perlu, daftarkan ke pengadilan sebagai akta perdamaian agar memiliki kekuatan eksekusi hukum.

Keunggulan Jalur Non-Litigasi

Cepat – tidak terikat jadwal sidang.
Efisien – biaya lebih rendah.
Ramah Sosial – hubungan baik tetap terjaga dan silaturahmi tidak terputus.

Facebook
Twitter
LinkedIn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru