Menjemput Keberuntungan: Bukan Menunggu Hoki, Tapi Menata Diri

Menjemput Keberuntungan Bukan Menunggu Hoki Tapi Menata Diri
Menjemput Keberuntungan Bukan Menunggu Hoki Tapi Menata Diri

Kita hidup di negeri yang akrab dengan kata “hoki”. Ia muncul di obrolan warung kopi hingga rapat direksi; dipakai untuk menertawakan kesialan dan merendahkan keberhasilan. Di satu sisi, “hoki” menenangkan—ada hal-hal yang memang di luar kuasa. Di sisi lain, ia menipu—seolah-olah kita hanyalah penonton pasif di panggung kehidupan. Buku Menjemput Keberuntungan karya Andrias Harefa mengajukan koreksi halus namun tegas: alih-alih menunggu, kita diundang untuk menata diri sehingga ketika kebetulan lewat, ia menemukan kita siap.

Ada yang keberatan: bukankah mengakui “peran nasib” justru membuat kita pasrah? Tidak. Mengakui ketidakpastian justru alasan terbaik untuk membangun struktur batin dan kebiasaan yang membuat kita tahan banting. Menunggu nasib baik adalah lotere emosional; menata diri adalah etos yang menghormati realitas—bahwa hidup adalah gabungan skill, konteks, dan kejutan. Perbedaannya sesederhana ini: yang pertama berharap undian jatuh di tangan; yang kedua memastikan ketika undian itu lewat, namanya terbaca jelas.

Keberuntungan itu, pada akhirnya, adalah pertemuan: antara momen dan kesiapan. Kita tidak berkuasa atas momen, tetapi kita punya andil besar dalam kesiapan. Harefa mendorong pembaca memusat pada hal-hal yang bisa dibentuk: cara berpikir, cara bekerja, dan terutama cara memaknai. Sebab, sebelum nasib berubah, sering kali yang harus berubah adalah narasi diri—cara kita menyebut diri sendiri di hadapan dunia. Apakah kita orang yang merasa “tak diundang”, atau pribadi yang percaya bahwa kontribusi kecil pun sah untuk dibawa ke meja?

Ada semacam kesombongan halus dalam menunggu hoki: keyakinan bahwa kita pantas diselamatkan oleh kejadian besar yang datang dari luar. Sebaliknya, menata diri itu rendah hati—ia mengakui keterbatasan, lalu menyusun ulang prioritas agar tenaga yang sedikit tidak tercecer di tempat yang salah. Ini bukan romantisasi kerja tanpa henti; ini soal ketepatan orientasi. Orang yang “menjemput” keberuntungan tidak selalu paling sibuk, tetapi mereka sering kali paling jelas: terhadap apa yang diyakini, nilai yang ingin dihidupkan, dan kontribusi yang ingin ditinggalkan.

Kejelasan seperti ini punya efek sosial yang jarang kita bicarakan. Ia mengundang orang lain untuk mengerti. Banyak kesempatan batal bukan karena ketiadaan ruang, melainkan karena pihak lain tak kunjung paham siapa kita, bisa apa, dan sedang mencari apa. “Menjemput” berarti berhenti bersembunyi di balik generalisasi dangkal; ia menghendaki identitas yang terucap dengan sederhana, bukan demi promosi murahan, melainkan agar kerja kita memiliki alamat. Tanpa alamat, dunia tak tahu harus mengirim peluang ke mana.

Sikap menata diri juga menyentuh dimensi yang lebih sunyi: integritas. Di era yang memuja kilat, integritas terkesan tidak seksi. Ia tidak menambah pengikut dalam semalam, tidak meledakkan statistik. Tetapi di jagat relasi yang nyata, integritas adalah mata uang lambat yang mengganda. Kita menyebutnya “keberuntungan” ketika orang lain tiba-tiba membuka pintu; sering kita lupa pintu itu disusun pelan-pelan oleh reputasi: janji yang ditepati, perhatian kecil yang tak dihitung, cara kita menyikapi konflik tanpa membakar jembatan. Menata diri berarti tidak hanya mengejar panggung, tetapi juga menjaga lorong-lorong yang tak terlihat.

Lalu bagaimana dengan kegagalan? Di sinilah perbedaan tajam antara menunggu dan menjemput. Yang menunggu melihat kegagalan sebagai vonis: tanda bahwa ia memang “kurang hoki”. Yang menjemput memandangnya sebagai informasi: bahan untuk memurnikan niat, memperbaiki cara, dan memperdalam empati pada proses. Tidak ada gunanya menyangkal pahitnya jatuh; tetapi mengikat jatuh sebagai identitas jauh lebih merusak. Editorial yang waras mengusulkan jarak: izinkan kegagalan berbicara tentang metode, bukan martabat. Dengan jarak itu, kita kembali ke dunia bukan sebagai pecundang yang memelas, melainkan sebagai pekerja yang lebih tajam.

Sebagian orang akan tetap sinis: “Ah, ujung-ujungnya tetap soal kesempatan, dan kesempatan itu milik yang beruntung.” Benar—tetapi sinisme itu berhenti di permukaan. Kesempatan jarang turun dari langit; ia sering lahir dari percakapan yang tak direncanakan, dari kesan yang tertinggal, dari karya kecil yang kebetulan terlihat oleh orang yang tepat. “Kebetulan terlihat” itu sendiri hasil dari pilihan-pilihan yang diulang: menghadirkan diri, meski imperfek; berbicara seperlunya, bukan bersembunyi seribu alasan; memberi nilai dulu, baru berharap dilihat. Di titik ini, “menjemput” bukan lagi strategi; ia berubah menjadi cara berkehidupan.

Ada pula yang keberatan dari arah sebaliknya: “Apakah semua orang punya privilese untuk menjemput?” Tidak. Garis mulai kita berbeda. Justru karena itu, gagasan menata diri menjadi lebih penting. Ia tidak menafikan struktur—ia mengajarkan manuver di dalamnya. Menata diri mungkin tidak serta-merta merobohkan tembok, tetapi ia membuka celah: kemampuan membaca peta, keberanian mengetuk pintu yang sebelumnya dianggap terlalu besar, ketahanan untuk bermitra alih-alih melulu bersaing. Tidak setiap orang bisa memilih cuaca; semua orang bisa memilih cara berjalan.

Pada akhirnya, “menjemput keberuntungan” adalah keberpihakan sehari-hari pada kenyataan: bahwa hidup tidak menunggu kita siap. Dunia bergerak, dan ia tidak berkewajiban melambat. Maka, ketimbang berdoa agar semesta tiba-tiba menyusun ulang rintangannya, lebih masuk akal bila kita yang menyusun ulang diri—cara berpikir kita tentang nilai, cara berperilaku kita di hadapan sesama, cara kita menyusun cerita tentang apa yang penting. Di jalur itu, keberuntungan berhenti menjadi fantasi yang jauh dan berubah menjadi residu dari pilihan-pilihan yang konsisten.

Apakah semua itu menjamin hasil yang gemilang? Tidak. Tidak ada editorial yang jujur berani menjanjikannya. Tetapi di antara dua cara hidup—menunggu undian atau menata diri—hanya salah satu yang memberi martabat: keyakinan bahwa kendali kecil yang kita punya cukup berarti untuk mengubah peta, setidaknya sejauh langkah kita. Dan kadang-kadang, langkah yang teratur itulah yang membuat kebetulan menoleh, tersenyum, lalu mengetuk.

Facebook
Twitter
LinkedIn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru