Angin sore di Pantai Biru Kersik masih bertiup seperti dulu. Suaranya tetap pelan, seolah ingin bercerita tentang mereka yang pernah datang lebih dulu — membuka semak, menanam niat, dan menambatkan harapan di bibir pantai. Mereka bukan tokoh dalam buku sejarah, tapi kita mengenal mereka lewat rumah-rumah tua, bekas telapak kaki di pasir, dan cerita yang kini mulai pelan diceritakan ulang.
Saya tumbuh dengan cerita itu. Tentang bagaimana orang-orang pertama datang dengan perahu kayu dan alat sederhana dari sulawesi selatan-suku bugis. Mereka bukan wisatawan, bukan pula investor. Mereka adalah perintis: orang-orang yang percaya bahwa desa ini bisa jadi tempat tinggal dan tempat hidup karena pada saat itu di kampung halamannya terjadi perang saudara.
Kini, puluhan tahun setelahnya, Desa Kersik menyandang predikat “desa wisata.” Sebuah capaian yang tak kecil. Tapi dalam hati, saya bertanya: apakah kita betul-betul siap menyandangnya?
Dulu, orang datang ke pantai untuk mencari ikan, untuk menenangkan diri, atau untuk mengikat perahu. Hari ini, orang datang dengan kamera, membawa caption yang estetik, dan pulang dengan likes.
Tidak salah. Tapi kalau desa ini hanya dijadikan latar foto tanpa ada yang benar-benar merawat tempatnya, apa bedanya Kersik dengan lukisan yang lama-lama pudar?
Saya khawatir, bahwa tanpa sadar, kita mulai kehilangan esensi. Bahwa warisan yang harusnya dijaga bersama kini hanya jadi dekorasi musiman. Bahwa budaya yang dulu lahir dari kerja dan kebersamaan, kini hanya muncul saat ada tamu dan lomba.
Menjadi pewaris bukan sekadar menerima apa yang sudah jadi. Tapi memikul tugas untuk menjaga — bahkan membawanya lebih jauh.
Desa ini tidak butuh lebih banyak janji. Ia butuh lebih banyak tangan yang bekerja: membenahi drainase sebelum abrasi datang lagi, menyusun sistem wisata yang berpihak pada warga, mengajarkan anak-anak untuk bangga pada pasir dan laut mereka sendiri.
Kita semua adalah pewaris. Tapi pewaris yang pasif hanya akan menyaksikan warisan itu memudar perlahan.
Apa yang Akan Kita Tinggalkan?
Beberapa tahun ke depan, mungkin saya sudah tidak lagi menjabat. Mungkin akan ada kepala desa baru, sistem baru, mungkin bahkan wajah pantai ini akan berubah. Tapi harapan saya sederhana: jangan biarkan desa ini hidup hanya dari kenangan.
Bangunlah sistem yang hidup. Wariskan nilai, bukan hanya nama.
Desa Kersik bukan hanya tentang destinasi. Ia adalah ruang hidup. Ia adalah napas orang-orang yang bekerja, bermimpi, dan mencintai. Jika kita menyebut diri pewaris, maka tugas kita jelas: meneruskan, bukan melupakan.