Kebodohan Massa dan Hilangnya Akal dalam Kerumunan

Kebodohan Massa dan Hilangnya Akal dalam Kerumunan
Kebodohan Massa dan Hilangnya Akal dalam Kerumunan

Individu sering kita bayangkan sebagai makhluk rasional. Sendiri, ia bisa menimbang, mempertimbangkan, bahkan menahan diri. Namun, sesuatu yang aneh sering terjadi ketika manusia berkumpul dalam kerumunan: akal sehat yang ada dalam diri masing-masing individu seolah lenyap, tergantikan oleh emosi kolektif yang bising. Fenomena ini dikenal dengan istilah Stupidity of the Herd — kebodohan massa.

Kebodohan massa bukan berarti setiap orang di dalamnya bodoh. Justru sebaliknya, banyak kerumunan diisi oleh orang-orang cerdas. Tetapi ketika mereka berkumpul, kecerdasan individual hilang, larut dalam emosi kolektif. Inilah paradoks: kerumunan sering lebih irasional daripada orang-orang yang menyusunnya.

Akar Teori: Dari Le Bon ke Psikologi Modern

Gagasan tentang kebodohan massa sudah lama dibahas. Gustave Le Bon, seorang psikolog sosial abad ke-19, dalam bukunya The Crowd (1895) menulis bahwa individu yang berada dalam kerumunan kehilangan identitas pribadinya dan larut dalam “jiwa kolektif” yang lebih emosional daripada rasional.

Di era modern, studi psikologi sosial memperkuat gagasan ini. Eksperimen Solomon Asch tentang conformity menunjukkan bahwa individu cenderung mengikuti mayoritas meskipun jelas-jelas salah. Stanley Milgram menemukan bahwa banyak orang akan mematuhi otoritas untuk melakukan tindakan kejam, meski hati kecilnya menolak. Semua ini memperlihatkan: dalam kerumunan atau sistem, kebebasan berpikir sering runtuh.

Wajah Kebodohan Massa Hari Ini

  1. Media Sosial sebagai Kerumunan Digital
    1. Di Twitter, Facebook, atau TikTok, kita sering melihat opini dangkal menjadi kebenaran baru hanya karena ribuan orang menekan tombol “like” atau “share”.
    1. Seseorang bisa dihujat massal tanpa ada yang benar-benar memeriksa fakta.
    1. Di sini, kerumunan virtual berperan persis seperti kerumunan fisik: emosional, reaktif, dan mudah tersulut.
  2. Fenomena Panic Buying
    1. Saat krisis, orang berebut membeli barang tertentu (masker, minyak goreng, bahkan tisu toilet).
    1. Individu mungkin sadar ia tidak benar-benar butuh banyak, tetapi melihat orang lain panik membuatnya ikut-ikutan.
    1. Akal sehat individu kalah oleh logika kerumunan: “kalau semua orang melakukannya, saya juga harus melakukannya.”
  3. Politik Populis
    1. Dalam politik, kerumunan sering lebih mudah digerakkan oleh slogan emosional daripada argumen rasional.
    1. Seorang pemimpin yang pandai memainkan emosi massa bisa memobilisasi dukungan tanpa perlu membangun logika yang kuat.

Mengapa Massa Bisa Bodoh?

Ada beberapa alasan mengapa kerumunan melahirkan kebodohan kolektif:

  • Anonimitas: dalam kerumunan, tanggung jawab individu melebur. Orang merasa tidak akan dimintai pertanggungjawaban.
  • Konformitas: manusia ingin diterima, sehingga lebih memilih mengikuti arus mayoritas daripada berpikir sendiri.
  • Emosi Kolektif: rasa takut, marah, atau euforia menyebar lebih cepat daripada argumen rasional.

Dengan kombinasi ini, kerumunan bisa dengan cepat berubah menjadi kekuatan yang merusak.

Bahaya Kebodohan Massa

Kebodohan individu bisa berbahaya, tetapi kebodohan massa bisa meluluhlantakkan peradaban. Sejarah penuh contoh: histeria massa yang melahirkan perburuan penyihir, propaganda yang membawa bangsa ke perang, atau kebijakan populis yang menghancurkan ekonomi.

Bahaya terbesar adalah ketika kebodohan massa dilegitimasi sebagai “suara rakyat.” Padahal, seperti kata Le Bon, kerumunan sering bertindak lebih seperti “makhluk primitif” daripada warga negara yang rasional.

Menjaga Akal di Tengah Kerumunan

Refleksi tentang Stupidity of the Herd menantang kita untuk tidak larut begitu saja dalam arus massa. Tugas kita adalah menjaga akal, bahkan ketika kita berada di tengah kerumunan yang penuh emosi.

Socrates pernah berkata bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh jumlah orang yang setuju, melainkan oleh ketajaman akal budi. Maka, meski lebih sulit, kita perlu berani menjadi suara minoritas yang kritis, alih-alih hanyut dalam kebodohan kolektif.

Karena pada akhirnya, keselamatan masyarakat tidak ditentukan oleh berapa banyak orang yang berteriak, melainkan oleh berapa banyak orang yang berani tetap berpikir di tengah hiruk pikuk massa.

Facebook
Twitter
LinkedIn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru