Keberuntungan Bukan Kebetulan: Mengapa “Hoki” Bisa Didesain

Keberuntungan Bukan Kebetulan Mengapa Hoki Bisa Didisain
Keberuntungan Bukan Kebetulan Mengapa Hoki Bisa Didisain

Kita sering memperlakukan keberuntungan seolah-olah ia dewa kecil yang iseng: hari ini memihak, besok berpaling. Di satu sisi ada yang menuhankannya—jika sukses, ya karena “lagi hoki”. Di sisi lain, ada yang menampiknya mentah-mentah—semua hasil adalah buah kerja keras belaka. Menurut saya, keduanya tidak lengkap. Keberuntungan itu nyata dan bisa dipengaruhi. Ia bukan mantra, melainkan konsekuensi dari cara kita menata hidup agar peluang baik lebih sering bertemu dengan kita.

Dua mitos yang perlu diakhiri

Mitos pertama: keberuntungan sepenuhnya acak—tidak ada yang bisa dilakukan. Ini melumpuhkan. Sikap fatalis membuat kita pasif, padahal peluang paling sering menyapa orang yang terlihat, bergerak, dan berkontribusi.
Mitos kedua: meritokrasi murni—hasil akhir sepenuhnya setara dengan usaha. Ini menutup mata pada ketidakpastian dan struktur sosial (privilege, akses, informasi) yang memengaruhi lintasan karier dan hidup. Mengakui keberuntungan tidak mengurangi nilai kerja keras; justru membuat strategi kita lebih realistis.

Keberuntungan sebagai “luas permukaan”

Bayangkan keberuntungan seperti hujan gerimis yang turun acak. Kita tak bisa memerintah awan, tetapi kita bisa memperluas permukaan yang terkena. Dalam praktik, “luas permukaan keberuntungan” bertambah ketika tiga hal meningkat sekaligus:

  1. Output — seberapa sering kita menaruh sesuatu ke dunia: tulisan, kode, prototipe, ide, tawaran bantuan.
  2. Reach — seberapa jauh dan beragam orang bisa melihat output itu.
  3. Kejelasan sinyal — apakah orang lain cepat mengerti kita siapa, bisa apa, sedang mencari apa.

Semakin banyak artefak nyata yang beredar, semakin besar peluang manusia (dan kebetulan) yang tepat bertemu kita pada waktu yang pas.

Rumus sederhana yang membumi

Saya menyukai kerangka kerja praktis ini: L ≈ P × E × Pc × K.

  • P (Preparation / Persiapan): kualitas keterampilan dan mutu karya.
  • E (Exposure / Eksposur): seberapa terlihat kita di arena yang relevan.
  • Pc (Percobaan): jumlah tembakan yang masih masuk akal.
  • K (Keberanian): dorongan untuk mengirim, mengajukan, menghubungi, mengulang.

Jika salah satu bernilai nol—misalnya tidak pernah mengirim karya (K=0) atau tidak pernah mencoba (Pc=0)—maka produk totalnya mendekati nol. Kita tidak menghapus acak, tetapi mengubah distribusinya agar lebih sering memihak.

Investor–akademisi Michael J. Mauboussin menekankan bahwa performa berada di kontinuum skill–luck; saat keterampilan makin merata, peran keberuntungan relatif membesar (paradox of skill). Karena itu, fokuslah pada proses yang baik, bukan hanya hasil. Sejalan dengan itu, Annie Duke memperingatkan bias “resulting”—kecenderungan menilai keputusan dari hasil semata—dan mengajak kita berpikir probabilistik dalam ketidakpastian.

“Ilmu hoki” yang tidak mistik

Keberuntungan sering lahir dari kombinasi kualitas + banyak percobaan. Secara probabilistik, peluang mendapatkan setidaknya satu momen baik setelah melakukan n percobaan dengan peluang sukses per percobaan p adalah: 1 − (1 − p)^n. Artinya, meningkatkan p (persiapan dan kualitas) serta n (jumlah percobaan) bekerja sinergis. Di dunia yang penuh ketidakpastian, banyak percobaan berbiaya rendah sering mengalahkan satu tembakan sempurna yang tak pernah dilepas.

Mengelola ketidakpastian: kejar asimetri

Keberuntungan kerap berwajah asimetris: kerugian bisa dibatasi, tetapi keuntungan bisa meledak. Maka, strategi yang sehat adalah memburu peluang dengan downside kecil dan upside besar—magang pendek, eksperimen harga, A/B test konten, prototipe yang murah, pitch singkat ke lima calon klien, mengirimkan paper ke beberapa konferensi. Kita memberi kesempatan pada dunia untuk “menghadiahkan” hasil ekstrem yang menguntungkan, sambil memastikan kegagalan tidak menghabiskan modal, reputasi, atau semangat.

Nassim Nicholas Taleb menyebut desain seperti ini sebagai optionality—menciptakan opsi dengan payoff cembung (convex) sehingga “more to gain than to lose from a random variable.” Dengan banyak opsi kecil, kita diuntungkan oleh volatilitas alih-alih dihancurkan olehnya.

Peran karakter: optimisme yang bertindak

Optimisme tanpa aksi adalah fantasi; aksi tanpa optimisme sering mati di awal. Orang yang “kelihatan beruntung” biasanya mempraktikkan optimisme realistis: berani berharap baik, namun menyiapkan rencana ulang jika kenyataan berkata lain. Mereka cepat reframe kegagalan menjadi data, bukan identitas. Mereka juga melatih intuisi—bukan menuhankannya—dengan mencatat alasan keputusan, mengukur hasil, lalu mengoreksi bias. Dari situ lahir gut feeling yang semakin tajam.

Psikolog Barbara L. Fredrickson menunjukkan bahwa emosi positif “broaden people’s momentary thought–action repertoires” dan, seiring waktu, membangun sumber daya sosial-kognitif yang membuat kita lebih adaptif menghadapi peluang. Ini landasan psikologis mengapa optimisme yang bertindak memperluas “luas permukaan keberuntungan.”

Privilege itu nyata—lalu apa?

Mengakui peran struktur sosial bukan alasan untuk menyerah. Justru karena garis start tidak sama, desain keberuntungan jadi semakin penting. Bagi individu, ini berarti memilih arena main yang memberi leverage pada kekuatan unik (bahasa, komunitas, waktu, pengalaman), bukan memaksakan diri di sirkuit yang hanya mendewakan modal besar. Bagi organisasi, ini berarti membuka kanal eksposur yang lebih merata: forum demo mingguan, randomized coffee lintas divisi, mentorship terbuka, dan penghargaan pada learning wins—bukan hanya puncak hasil.

Ekonom Robert H. Frank berargumen bahwa di era pasar winner-take-all, peluang dan keunggulan kecil bisa menumpuk menjadi perbedaan hasil yang besar—dan kita cenderung meremehkan peran keberuntungan. Menyadarinya membantu merancang strategi dan kebijakan yang lebih adil serta efektif.

Keberuntungan di tempat kerja: sebuah argumen praktis

Budaya kerja yang sehat tidak cuma mengukur hasil akhir, melainkan laju percobaan berkualitas. Tim yang “beruntung” biasanya:

  • Menjaga cycle time pendek: ide cepat diwujudkan, cepat diujicoba.
  • Transparan soal betapa seringnya mencoba (dan gagal kecil).
  • Mendisain touchpoint rutin dengan dunia luar: user interview, rilis beta, tulisan teknis, talk singkat.
  • Mewaraskan ego: keberanian mengirim dan memperbaiki lebih dihargai daripada kesempurnaan yang tak pernah keluar.

Inilah ironi yang indah: ketika organisasi mempermudah karyawan untuk mencoba lebih banyak dengan risiko terukur, “hoki perusahaan” tiba-tiba membaik. Bukan karena semesta berubah; prosesnya yang berubah.

Tiga keputusan kecil yang mengundang “hoki”

Besok pagi, pilih tiga langkah ini:

  1. Publikasikan artefak mikro: ringkasan temuan, potongan kode, sketsa solusi—biar dunia punya alasan menyapamu.
  2. Sapa satu orang di luar lingkaranmu: tanya, bantu, atau tawarkan kolaborasi. Jembatan baru = jalur informasi baru.
  3. Ambil satu percobaan berbiaya rendah: ajukan ide ke rapat, uji harga, kirim pitch lima baris. Evaluasi hasilnya minggu depan.

Tiga langkah ini tidak dramatis, tetapi konsisten. Dalam beberapa minggu ke depan, peta peluangmu hampir pasti berbeda.

merayakan probabilitas, bukan takhayul

Saya tidak percaya bahwa hidup sepenuhnya dipegang nasib. Saya juga tidak percaya usaha adalah satu-satunya dewa. Kita hidup di antara keduanya—di wilayah probabilitas. Tugas kita adalah memperbesar peluang baik datang, memperkecil dampak buruk ketika datang yang jelek, dan terus bergerak agar ketika kebetulan lewat, ia menemukan kita sedang siap. Seperti diringkas psikolog Richard Wiseman, “lucky people generate their own good fortune via four basic principles.” Empat prinsip itu—memaksimalkan peluang, mengikuti intuisi, ekspektasi positif, dan mengubah sial jadi mujur—bisa dilatih dalam rutinitas harian

Facebook
Twitter
LinkedIn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru