Upaya Global Sumud Flotilla (Armada Sumud) untuk menembus blokade Gaza pada September–Oktober 2025 kembali mengguncang wacana internasional. Lebih dari 40 kapal dengan ratusan aktivis, legislator, dan pekerja kemanusiaan dari berbagai negara berlayar menuju Gaza, membawa misi simbolis sekaligus praktis: membuka jalur kemanusiaan di tengah blokade yang telah berlangsung lebih dari 17 tahun.
Pada 2 Oktober 2025, Angkatan Laut Israel mencegat sebagian besar kapal di perairan internasional dan menahan para aktivis. Meski secara militer operasi ini dianggap “sukses”, konsekuensi diplomatik, reputasi, dan hukum yang ditimbulkan justru semakin membebani Israel di panggung global.
1. Dampak Diplomatik: Isolasi Simbolik yang Menguat
Israel menghadapi sorotan global akibat tindakan keras terhadap kapal sipil yang membawa bantuan. Negara-negara yang warganya ikut dalam flotilla—termasuk Italia, Spanyol, Afrika Selatan, dan Pakistan—menyampaikan protes resmi dan menuntut pembebasan aktivis.
Keterlibatan tokoh publik internasional memperbesar dampak simbolik. Cucu Nelson Mandela yang ikut dalam flotilla, misalnya, membuat kasus ini langsung terhubung dengan sejarah perjuangan anti-apartheid. Bagi banyak pihak, blokade Gaza kini semakin dipandang sebagai bentuk apartheid modern, membebani citra Israel di Global South.
2. Friksi dengan Sekutu Barat
Sekutu Eropa menunjukkan sinyal ambivalen. Spanyol dan Italia mengerahkan kapal angkatan laut untuk mendampingi flotilla pada tahap awal pelayaran, walaupun mereka berhenti ketika armada mendekati wilayah rawan. Langkah ini, meski simbolis, menandakan ketidaknyamanan negara-negara Eropa dengan kebijakan Israel.
Bagi Israel, tindakan tersebut mengandung risiko diplomatik jangka panjang: jika insiden di laut menimpa kapal Eropa, krisis bisa meruncing menjadi perselisihan tiga pihak (Israel–UE–aktivis). Sementara itu, Amerika Serikat tetap mendukung Israel, tetapi beban politik untuk membela tindakan intersepsi terhadap misi kemanusiaan semakin besar di hadapan publik internasional.
3. Legitimasi Hukum: Antara Hak Blokade dan Kewajiban Kemanusiaan
Secara hukum, Israel berargumen bahwa blokade Gaza sah sebagai tindakan perang dan berhak mencegat kapal bahkan di perairan internasional. Prinsip ini memang diakui dalam hukum laut internasional, selama blokade diumumkan, efektif, dan proporsional.
Namun, banyak pakar hukum dan lembaga HAM menilai blokade Gaza sebagai bentuk hukuman kolektif yang melanggar Konvensi Jenewa. Fakta kelaparan massal dan runtuhnya layanan kesehatan di Gaza memperkuat klaim bahwa blokade ini tidak sah. Setiap kali flotilla dicegat, bukti visual dan kesaksian baru memperkaya dossier hukum di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) maupun Mahkamah Internasional (ICJ).
4. Keamanan vs. Biaya Reputasi
Dari sisi keamanan, Israel berhasil mencegah masuknya kapal ke Gaza. Hal ini memberi sinyal kepada publik domestik bahwa pemerintah tetap konsisten melindungi “perimeter nasional.”
Namun, harga reputasi yang harus dibayar sangat besar:
- Aktivisme global meningkat: Setiap flotilla yang dicegat justru memperluas jaringan solidaritas internasional.
- Liputan media berulang: Narasi “tentara melawan aktivis” menjadi headline global, menempatkan Israel dalam posisi defensif.
- Banding dengan apartheid: Analogi dengan Afrika Selatan era apartheid semakin sering dipakai, memperkuat stigma isolasi.
Dengan demikian, operasi yang sukses secara taktis justru kontraproduktif secara strategis.
5. Pertarungan Narasi
Flotilla menggunakan siaran langsung dan dokumentasi digital untuk membangun battle of narratives. Aktivis menekankan misi mereka murni kemanusiaan, sementara Israel menuding flotilla sebagai “kampanye delegitimasi.”
Hasilnya jelas: setiap kali komunikasi flotilla terputus akibat intersepsi, muncul gelombang protes di Eropa, Afrika, dan Asia. Narasi kemanusiaan semakin kuat, sementara narasi keamanan Israel kehilangan resonansi di luar negeri.
6. Skenario Jangka Pendek–Menengah
- Status Quo Enforcement (paling mungkin): Israel terus menegakkan blokade, flotilla baru akan tetap muncul, dan siklus kecaman global berulang.
- De-eskalasi Terkelola: Israel membuka jalur bantuan melalui mekanisme pihak ketiga (misalnya PBB) untuk mengurangi tekanan diplomatik tanpa melepas kendali sepenuhnya.
- Krisis Maritim Terpancing (risiko rendah, dampak tinggi): Jika terjadi korban jiwa atau benturan dengan kapal militer Eropa, krisis diplomatik serius dapat muncul, memicu sanksi atau pembatasan militer.
Armada Sumud Flotilla menegaskan paradoks Israel: setiap keberhasilan mencegat kapal bantuan memperbesar kegagalan dalam perang opini global.
Secara militer, Israel tetap memegang kendali laut dan mencegah kapal mencapai Gaza. Tetapi secara strategis, intersepsi berulang hanya memperkuat isolasi internasional, menambah tekanan hukum, dan memperburuk citra di mata dunia.
Tanpa inovasi kebijakan—misalnya membuka koridor bantuan kemanusiaan yang terverifikasi—Israel berisiko masuk dalam lingkaran enforcement–reputational damage yang sulit diputus. Dalam jangka panjang, biaya diplomatik dan reputasi ini bisa lebih berbahaya dibanding ancaman keamanan yang ingin dicegah.