Tradisi Safar “Makkela-kela” di Desa Kersik Bisa Menjadi Magnet Desa Wisata

makkela kela
makkela kela

Pagi ini, teras rumah di Desa Kersik berubah jadi ruang komunal. Perempuan-perempuan Bugis duduk melingkar, anak-anak mondar-mandir dengan tas sekolah, batok kelapa terbuka di sisi baki berisi hidangan rumahan. Gelak, sapa, dan sendok yang saling bergantian terdengar rapat—sebuah potret kebersamaan yang, bagi warga setempat, punya nama dan makna: makkela-kela.

Makkela-kela adalah tradisi Safar versi Bugis yang dibawa perantau ke Marangkayu, Kutai Kartanegara. Intinya sederhana: berkumpul, berdoa, makan bersama, dan berbagi. Namun, lapisan maknanya tebal: merawat silaturahmi, meneguhkan rasa selamat, dan memperbarui tekad menghadapi tahun yang berjalan. Di Kersik, tradisi ini menjadi kalender batin—penanda waktu yang ditunggu karena menghadirkan keluarga besar dan tetangga dalam satu lingkar.

Di banyak komunitas Bugis, Safar memang sering ditandai dengan mandi atau jamuan bersama sebagai simbol penyucian diri. Di Kersik, praktiknya menyesuaikan ruang dan ritme hidup perantau: rumah menjadi pusat, halaman menjadi aula, dan dapur rakyat menjadi panggung utama. Yang dijaga bukan seragamnya bentuk, melainkan roh kebersamaan.

Sudah waktunya kita melihat makkela-kela bukan sebagai “ritual kecil di teras rumah”, melainkan modal sosial dan daya tarik budaya. Di era desa wisata, yang dicari pelancong bukan hanya pemandangan, melainkan pengalaman bermakna: duduk bersama tuan rumah, mendengar kisah perantau Bugis di tanah Borneo, mencicipi kuliner rumahan, dan belajar sopan santun komunal yang disebut “sipakatau”—memanusiakan sesama.

Tentu, ada garis halus antara adat sebagai ekspresi identitas dan syariat sebagai pedoman ibadah. Makkela-kela berada pada wilayah adat—sah dirayakan sejauh tidak dikultuskan dan tetap ramah ajaran. Justru dengan framing budaya, tradisi ini bisa tampil inklusif, terbuka bagi tetangga lintas suku dan pengunjung, tanpa mengubah marwahnya.


Makkela-kela bisa sebagai Even Desa Wisata

1) Konsep kuratorial: “Festival Pantai/Rumah Terbuka Bugis Kersik”

Gagasan: Mengubah satu hari puncak makkela-kela menjadi festival di Pantai atau rumah terbuka yang tersebar (clustered), dipandu oleh warga. Setiap klaster (beberapa rumah bertetangga) menyajikan tema kecil:

  • Dapur Nenek: demonstrasi kuliner Bugis (mis. penganan berbasis kelapa/beras, kue kukus, dan minuman tradisional) sambil cerita resep keluarga.
  • Ruang Cerita Perantau: sesi tutur lisan tentang migrasi Bugis ke Marangkayu, nilai kerja keras pelaut-petani, dan bahasa Bugis dasar (sapaan, ungkapan sopan).
  • Lingkar Doa & Syukur: doa bersama yang ringkas dan terbuka, dengan penjelasan etika mengikuti prosesi bagi pengunjung.
  • Bahan dari Batok Kelapa & Daun: prakarya memanfaatkan bahan yang tersedia di desa Kersik seperti batok kelapa/daun pisang—sekali jalan, sekaligus kampanye bebas sampah plastik.

Nilai tambah: pengunjung tidak hanya menonton; mereka ikut serta—membelah kelapa, membungkus makanan, atau sekadar duduk mendengar cerita. Inilah diferensiasi Kersik dibanding festival panggung besar yang serba jarak.

2) Alur pengalaman pengunjung (half-day)

  1. Welcome Point di balai desa: registrasi, pengenalan singkat tentang makkela-kela, dan kartu etika kunjungan (berpakaian sopan, izin memotret, menghormati prosesi).
  2. Tur Klaster (3–4 rumah): dipandu local guide remaja karang taruna.
  3. Jamuan Bersama: duduk melingkar, mencicipi menu rumahan, belajar tata krama Bugis.
  4. Pasar UMKM: hasil kebun, olahan kelapa, kue Bugis, dan kerajinan batok.
  5. Penutupan: testimoni singkat pengunjung, foto bersama, dan ajakan kembali di tahun depan.

3) Prinsip penyelenggaraan yang menjaga marwah adat

  • Community-led, bukan event impor. Keputusan di tangan “ade” (tokoh adat), imam, ketua RT, dan ibu-ibu dapur; pihak luar hanya memfasilitasi.
  • Ramah syariat & inklusif. Prosesi doa tidak “dipertontonkan”; tamu dipersilakan hadir sebagai tetangga yang menghormati.
  • Ekonomi adil. Paket kunjungan berbiaya wajar; hasilnya dibagi transparan (rumah tuan acara, Pokdarwis/kelompok pemuda, kas RT/Desa/Koperasi/Bumdes, dan dana kebersihan).
  • Hijau & rendah sampah. Wadah daun/batok, titik cuci tangan, pengelolaan sisa pangan untuk kompos atau pakan.
  • Dokumentasi berizin. Ada tim lokal yang mendampingi konten kreator; foto close-up minta persetujuan.

4) Kalender & branding

  • Waktu: minggu puncak bulan Safar (disesuaikan penanggalan dan kesiapan warga), ideal Sabtu–Minggu.
  • Nama: Festival Makkela-kela Kersik — tagline: “Duduk Melingkar, Rasa Jadi Akar.”
  • Ceritakan manusia, bukan sekadar agenda. Konten promosi menonjolkan kisah ibu-ibu dapur, kakek perantau, dan anak-anak yang menertibkan gelas.
  • Jalur promosi: jejaring desa wisata Kukar, komunitas perantau Bugis di Kaltim, sekolah/komunitas di Samarinda–Bontang–Balikpapan, serta travel kecil yang menjual pengalaman autentik.

5) Tata kelola sederhana (checklist inti)

  • Tim inti: kurator adat, koordinator logistik, bendahara, humas-dokumentasi, dan guest flow.
  • Standar layanan: kapasitas per klaster (maks. 15–20 tamu/sesi), durasi kunjungan, panduan etika, first aid, dan titik parkir terarah.
  • Pengukuran dampak:
    • Sosial: jumlah keluarga tuan rumah terlibat, jam gotong-royong, cerita yang direkam.
    • Ekonomi: omzet UMKM, sirkulasi bahan pangan lokal, kas RT/Desa/Koperasi/Bumdes tergantung dari hasil musyawarah.
    • Lingkungan: volume sampah non-organik (target turun tiap tahun).

Mengapa Kersik Berpeluang?

  1. Narasi kuat. Perpaduan perantau Bugis dan bumi Kaltim menyajikan kisah lintas laut—relevan dengan rute wisata pesisir dan IKN yang membuka arus kunjungan baru.
  2. Keramahan yang organik. Dokumentasi yang dihasilkan menunjukkan esensi “hospitality”, outentik dan unik: duduk lesehan, wadah sederhana, percakapan hangat—ini mahal bagi wisatawan yang jenuh atraksi seremonial.
  3. Kuliner & bahan lokal. Kelapa, beras, daun, ikan: semuanya dekat, murah, dan siap dikisahkan.
  4. Skalabilitas bertahap. Mulai dari satu RT dan 3–4 rumah per klaster; berkembang seiring pengalaman tanpa kehilangan intimitas.

melingkar, merayakan, memanggil pulang

Makkela-kela adalah alasan untuk pulang—bagi keluarga yang merantau, juga bagi wisatawan yang ingin kembali karena merasa diterima sebagai kawan. Jika dikelola dengan cermat, Kersik bisa menawarkan sesuatu yang jarang: wisata yang tidak membuat warga jadi penonton di rumah sendiri, melainkan tuan rumah yang bangga.

Mari duduk melingkar, membagi cerita, dan menumbuhkan akar. Dari satu teras rumah atau di Pantai biru kersik, Safar bisa bergaung ke kalender desa wisata—hangat, beretika, dan berdampak.

Facebook
Twitter
LinkedIn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru