Desa Kersik yang terletak di pesisir, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, adalah desa yang hidup di persimpangan darat dan laut. Sebagian warganya menggantungkan hidup pada laut: melaut di pagi buta, menarik jaring, menjemur ikan asin di bawah terik matahari. Sebagian lain bertani dan berkebun, merawat lahan, atau bekerja di perusahaan migas atau tambang.
Pembangunan memang sudah mulai menampakkan wajahnya. Jalan desa yang dulu penuh lumpur kini sebagian sudah semenisasi, sungai direhap dan digali, dermaga diperbaiki, sekolah mulai Tingkat TK sampai Tingkat SMA, pusban tersedia tenaga perawat yang memudahkan warga desa. Infrastruktur ini adalah berkah: anak-anak bisa pergi ke sekolah tanpa kaki belepotan lumpur, hasil tangkapan ikan bisa lebih cepat terjual, dan warga sakit bisa lebih cepat mendapat perawatan.
Namun, ada pertanyaan reflektif yang perlu kita ajukan: apakah pembangunan ini hanya mempercantik wajah desa, atau juga memperkuat ikatan antarwarga?
Pembangunan Fisik dan Jiwa Sosial
Pembangunan sering kali diukur dengan tolok ukur fisik dan ekonomi: berapa banyak jalan yang diseminisasi, berapa pendapatan pelaku UMKM di Pantai Biru, berapa banyak kapal nelayan yang bisa diturunkan. Namun pembangunan sosial jauh lebih halus ukurannya. Ia diukur dengan rasa percaya, solidaritas, kebersamaan, dan harapan.
Di Desa Kersik, gotong royong dulunya menjadi denyut kehidupan. Jika ada warga yang menggelar hajatan, seluruh desa hadir: ada yang membantu memasak, ada yang mengatur kursi, ada yang menyiapkan tenda, ada yang sekadar menemani dengan canda. Namun kini, sebagian tradisi itu mulai bergeser. Tenaga luar lebih sering dipanggil, semua serba “dibayar”, dan kebersamaan perlahan berkurang. Praktis memang, tetapi apakah kehangatan sosialnya masih sama?
Gotong royong bukan hanya kerja sama, tetapi juga rasa: rasa bahwa kita tidak sendirian, rasa bahwa ada tangan lain yang siap menopang ketika kita goyah. Inilah yang saya khawatirkan: jika pembangunan hanya berfokus pada infrastruktur tanpa merawat rasa kebersamaan, desa bisa terlihat maju di luar, tetapi rapuh di dalam.
Suara dari Laut dan Kebun
Pembangunan sosial juga harus mendengarkan suara dari dua sumber kehidupan desa: laut dan sawah. Nelayan bangun dini hari, menghadapi ombak, lalu membawa pulang ikan yang kadang melimpah, kadang sepi. Petani menunggu musim, menjaga tanah, menanti panen yang hasilnya tidak selalu sebanding dengan keringat yang tercurah.
Pertanyaannya: apakah pembangunan sudah memberi ruang agar nelayan dan petani kebun lebih berdaya? Ataukah mereka masih berjuang sendiri menghadapi tengkulak, harga pasar yang tidak menentu, dan ancaman kerusakan lingkungan?
Di sinilah letak pembangunan sosial yang sesungguhnya: bukan hanya membangun dermaga atau irigasi, tetapi juga memastikan ada sistem yang adil—agar nelayan tidak terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan, dan petani tidak selalu kalah dalam permainan harga.
Generasi Muda: Tinggal atau Pergi?
Satu pertanyaan penting bagi masa depan Desa Kersik adalah: apakah anak muda akan tinggal di desa, atau justru pergi ke kota? Pembangunan sosial harus bisa menjawab ini. Banyak anak muda desa yang pergi karena merasa peluang hidup lebih baik ada di kota. Mereka ingin sekolah lebih tinggi, mencari pekerjaan yang lebih layak, atau sekadar mencoba peruntungan.
Namun jika pembangunan desa hanya berfokus pada fisik, anak muda akan semakin terdorong meninggalkan desanya. Padahal, desa membutuhkan mereka: tenaga, ide, semangat, dan inovasi. Maka pembangunan sosial di Kersik harus memastikan anak muda memiliki ruang untuk tumbuh: akses pendidikan, ruang kreativitas, bahkan kesempatan memanfaatkan teknologi untuk memperkuat desa.
Lingkungan dan Warisan Masa Depan
Sebagai desa pesisir, Kersik juga menghadapi tantangan lingkungan. Laut yang dulu kaya bisa terancam oleh pencemaran, kebun bisa tergerus oleh industri, tanah bisa kehilangan kesuburannya. Jika pembangunan hanya mengejar keuntungan sesaat, generasi mendatang mungkin hanya akan mewarisi kerusakan.
Pembangunan sosial berarti berpikir jangka panjang. Ia menuntut kita menjaga laut, pantai dan tanah sebagai warisan bersama. Karena desa bukan hanya tempat kita tinggal hari ini, tetapi juga rumah bagi anak cucu kita kelak.
Menjaga Jiwa Desa
Saya percaya, pembangunan sosial di Desa Kersik tidak bisa hanya mengandalkan proyek dari pemerintah. Ia juga harus lahir dari kesadaran warganya sendiri. Dari cara kita saling menyapa, dari kebiasaan kita bergotong royong, dari keinginan kita untuk menjaga yang lemah agar tidak tertinggal.
Membangun desa berarti membangun manusia di dalamnya. Tidak ada gunanya jalan mulus jika orang-orang di sekitarnya tidak lagi saling percaya. Tidak ada gunanya dermaga megah jika laut rusak dan anak-anak tidak bisa melanjutkan hidup dari sana. Tidak ada gunanya gedung sekolah baru jika guru dan murid kehilangan semangat belajar.
Gotong royong adalah jiwa desa, dan kesadaran sosial adalah napas yang membuat desa tetap hidup. Inilah yang harus kita jaga di tengah arus modernisasi.
Kersik sebagai Cermin
Desa Kersik sebagai cermin pembangunan sosial di Indonesia. Bahwa pembangunan bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga soal solidaritas, keadilan, dan keberlanjutan. Bahwa membangun desa berarti menjaga manusia—menjaga ikatan, menjaga harapan, menjaga warisan untuk generasi mendatang.
Karena pada akhirnya, laut bisa surut, jalan bisa retak, dan bangunan bisa runtuh. Tetapi kesadaran sosial—rasa saling percaya, empati, dan gotong royong—itulah yang akan membuat Desa Kersik tetap kokoh, apa pun badai yang datang.