Hakim Perdamaian Desa: Menyulam Damai di Tengah Konflik Warga

Hakim Perdamaian Desa
Hakim Perdamaian Desa

Kalau Anda pikir tugas kepala desa itu hanya mengurus administrasi, tanda tangan surat, dan hadir di acara pernikahan warga, percayalah—itu baru separuh cerita. Separuh lainnya adalah menjadi “hakim” tanpa palu, peredam konflik tanpa toga, penghubung yang merangkai kembali simpul-simpul silaturahmi yang nyaris putus.

Di banyak peraturan, termasuk Undang-Undang Desa (UU No. 6 Tahun 2014) dan PP No. 72 Tahun 2005 Pasal 15 ayat (1) huruf k, kepala desa diberi wewenang membantu menyelesaikan perselisihan warga secara damai. Dalam praktiknya, kami sering jadi “hakim perdamaian desa”—memutus sengketa tanpa memutus persaudaraan.

Pagi itu, di kantor desa Kersik, dua keluarga datang dengan wajah tegang. Sengketa mereka terdengar sepele: batas pagar yang “tergeser” sejengkal. Tapi di desa, sejengkal tanah bisa jadi setara sebidang harga diri.

Saya sambut mereka di ruang pertemuan kecil. Tanpa meja panjang, hanya kursi melingkar. Saya sengaja mengatur posisi ini—bukan untuk menciptakan jarak, tapi kedekatan.

Landasan Hukum yang Menguatkan

Sebelum memulai mediasi, saya selalu ingat bahwa peran ini bukan sekadar adat atau kebiasaan, tapi sah menurut hukum.
Beberapa dasar hukumnya:

  • UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa – Kepala desa berwenang memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
  • PP No. 72 Tahun 2005 Pasal 15(1)(k) – Kepala desa membantu menyelesaikan perselisihan masyarakat.
  • UU No. 30 Tahun 1999 – Mengatur penyelesaian sengketa di luar pengadilan (negosiasi, mediasi, konsiliasi).
  • Perma No. 1 Tahun 2016 – Panduan prosedur mediasi, yang bisa diadaptasi di tingkat desa.

Dengan dasar ini, warga lebih yakin bahwa keputusan damai yang kita hasilkan bukan hanya janji di mulut, tapi kesepakatan yang punya legitimasi.

Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Desa

Dalam menjalankan peran sebagai hakim perdamaian desa, saya menempuh tahapan berikut:

  1. Penerimaan Laporan
    Salah satu atau kedua pihak menyampaikan masalah. Saya catat detailnya dan memastikan semua pihak siap menempuh jalur damai.
  2. Pemanggilan Pihak Terlibat
    Kedua pihak diundang secara resmi. Ini penting, supaya prosesnya terstruktur dan bukan sekadar “ngobrol di teras”.
  3. Musyawarah Tertib
    – Aturan dibuat di awal: bicara bergantian, dilarang menghina.
    – Semua pihak diberi ruang untuk bercerita utuh.
  4. Pencarian Titik Temu
    Saya gali kepentingan masing-masing pihak, bukan sekadar posisi mereka. Sering kali masalahnya bisa diurai dengan kompromi kecil.
  5. Kesepakatan Tertulis
    Kesepakatan dibuat dalam berita acara, ditandatangani para pihak dan saksi. Jika perlu, bisa disahkan ke pengadilan sebagai akta perdamaian.
  6. Pemantauan Pelaksanaan
    Beberapa minggu kemudian, saya pantau apakah kesepakatan dijalankan. Kepercayaan tumbuh jika kata-kata ditepati.

Setelah dua jam, sengketa pagar tadi selesai. Solusinya sederhana: pagar tetap di tempat baru, tapi disepakati ada jalur kecil bersama yang bisa digunakan kedua keluarga.

Saat mereka pulang bersama, saya tersenyum. Inilah inti dari jalur non-litigasi: bukan siapa yang menang, tapi bagaimana semua bisa pulang dengan hati lega.

Menjadi kepala desa sebagai hakim perdamaian adalah seni menjaga harmoni. Palu hakim mungkin tidak ada di meja saya, tapi suara damai bisa terdengar lebih keras daripada ketukan palu itu sendiri.

Dalam dunia yang semakin terburu-buru mencari “menang”, mungkin kita perlu mengingat bahwa di desa, menang yang sejati adalah ketika semua pihak pulang dengan senyum.

Facebook
Twitter
LinkedIn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru