Kita semua pernah merasakannya—momen ketika sesuatu terasa tidak adil. Mungkin itu saat kita melihat teman yang bekerja keras tapi tidak diakui, atau saat aturan yang seharusnya melindungi justru dimanfaatkan oleh mereka yang berkuasa. Keadilan, dalam teori, terdengar sederhana: memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Namun di lapangan, konsep ini sering kali menjadi teka-teki yang penuh lapisan, tak sesederhana hitungan matematika.
Keadilan, Sebuah Ide yang Selalu Dikejar
Filsuf kuno seperti Plato membayangkan keadilan sebagai harmoni—setiap orang melakukan perannya, dan semua berjalan seimbang. Aristoteles menambahkan nuansa: keadilan adalah memberi sesuai dengan apa yang pantas diterima. Keduanya memandang keadilan sebagai sesuatu yang absolut, sesuatu yang bisa dicapai jika kita mau hidup sesuai aturan yang benar.
Lalu datanglah pemikir modern seperti John Rawls, yang mengajak kita membayangkan masyarakat ideal tanpa kita tahu posisi kita di dalamnya. Dari situ, kita akan merancang aturan yang “fair” untuk semua. Pendekatan ini logis, tapi sekaligus menyadarkan: keadilan bukan hanya soal hukum, tapi juga soal empati dan imajinasi sosial.
Wajah-Wajah Keadilan
Keadilan tidak datang dengan satu wajah saja. Ada keadilan distributif, yang memastikan pembagian sumber daya dilakukan merata atau setidaknya proporsional. Ada prosedural, yang menuntut proses yang bersih, tanpa bias dan diskriminasi. Ada retributif, yang berfokus pada hukuman yang sepadan dengan kesalahan. Dan ada restoratif, yang mencari cara untuk memulihkan hubungan dan menyembuhkan luka.
Masalahnya, wajah-wajah ini tidak selalu sejalan. Keadilan distributif bisa bertabrakan dengan keadilan prosedural. Restoratif kadang dianggap terlalu lembut oleh mereka yang menginginkan retributif. Inilah dilema: saat kita memperjuangkan satu bentuk keadilan, kita mungkin mengorbankan bentuk yang lain.
Ketika Keadilan Jadi Pilihan Sulit
Di dunia nyata, keadilan jarang bersih dari kepentingan. Siapa yang memegang kekuasaan sering kali punya kendali atas definisi dan penerapan keadilan. Undang-undang bisa berpihak, prosedur bisa dimanipulasi, dan rasa keadilan publik pun terkikis. Di sini kita belajar bahwa keadilan bukan hanya urusan aturan, tapi juga urusan keberanian moral.
Keadilan yang sejati menuntut kita untuk melihat lebih dari sekadar teks hukum. Ia menuntut kepekaan terhadap konteks, terhadap ketimpangan yang tidak selalu terlihat di permukaan. Dan kadang, menuntut kita untuk melawan arus—bahkan ketika arus itu datang dari sistem yang selama ini kita yakini.
Keadilan Sebagai Kompas, Bukan Tujuan Akhir
Bagi saya, keadilan adalah kompas. Ia memberi arah, tetapi perjalanan mencapainya tidak pernah benar-benar selesai. Selalu ada ruang untuk memperbaiki, mengoreksi, dan belajar dari kegagalan. Justru di situlah makna keadilan yang sesungguhnya: ia hidup, berkembang, dan bergantung pada sejauh mana kita mau memegangnya sebagai prinsip, bukan sekadar slogan.
Keadilan bukan soal menang atau kalah. Ia soal memastikan semua orang berjalan di jalan yang sama lebar, di bawah cahaya yang sama terang. Dan selama masih ada yang berjalan di lorong gelap, kita belum benar-benar sampai.