Tujuh buku menjadi pilihan penulis untuk di Highlights pada kesempatan kali ini, walaupun berbeda gaya dan pendekatan, berbicara hal yang sama: nasionalisme bukan sekadar kata, melainkan kesadaran, perjuangan, dan tindakan nyata.
Membacanya bukan hanya mengenang masa lalu, tapi juga mempersiapkan masa depan—agar kita tetap tegak berdiri sebagai bangsa yang merdeka dan bermartabat.
Buku-buku ini mengalir tenang, seperti mata air, namun menyejukkan hati dan menguatkan semangat.
1. Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer
Di sebuah sore sepi di Pulau Buru, seorang tahanan politik bernama Pramoedya Ananta Toer menulis kisah yang kelak menjadi salah satu novel paling berpengaruh di Indonesia.
Bumi Manusia membawa kita ke Jawa awal abad ke-20, saat seorang pemuda pribumi bernama Minke mencoba berdiri tegak di tengah cengkeraman kolonialisme Belanda.
Kisah ini bukan sekadar romansa Minke dengan Annelies—gadis cantik berdarah campuran—tetapi juga pergulatan batin antara budaya Timur yang membesarkannya dan Barat yang mengajarinya berpikir kritis. Pramoedya menuturkan bahwa kemerdekaan sejati bermula dari keberanian mempertanyakan ketidakadilan.
Buku ini mengajarkan bahwa nasionalisme lahir di hati mereka yang berani berkata: “Kita ini manusia, dan kita pantas dihargai.”
2. Anak Semua Bangsa – Pramoedya Ananta Toer
Kalau Bumi Manusia adalah kelahiran kesadaran, maka Anak Semua Bangsa adalah langkah pertamanya.
Minke kini bukan hanya seorang jurnalis, tapi seorang pemikir yang mulai melihat penderitaan rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Pramoedya menggambarkan perjalanan Minke menyusuri desa-desa, menyaksikan kemiskinan dan ketidakadilan yang menimpa rakyat kecil. Ia mulai mengerti bahwa nasionalisme tidak boleh berhenti pada hak pribadi—ia harus melingkupi semua bangsa, tanpa memandang suku atau kelas.
Di sini, pembaca belajar bahwa nasionalisme bukan milik segelintir kaum terdidik, melainkan hak setiap warga yang hidup di tanah airnya.
3. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia – George McTurnan Kahin
Bayangkan seorang peneliti muda Amerika di awal 1950-an, berjalan di antara gedung-gedung tua Jakarta, mewawancarai para tokoh yang baru saja memenangkan kemerdekaan.
Itulah yang dilakukan George McTurnan Kahin.
Buku ini adalah catatan detail perjuangan Indonesia dari meja diplomasi hingga medan perang. Kahin menuliskannya dengan ketelitian seorang sejarawan, namun juga dengan rasa hormat pada keberanian bangsa yang baru lahir.
Ia mengingatkan kita bahwa kemerdekaan tidak hanya direbut dengan bambu runcing, tapi juga dengan strategi politik dan diplomasi internasional yang cerdas.
4. Revolusi – David Van Reybrouck
Jika Kahin menulis dari dekat, David Van Reybrouck menulis dari lintas benua dan lintas generasi.
Dengan ratusan wawancara dari saksi hidup—mulai dari veteran perang, mantan serdadu Belanda, hingga warga desa yang menyaksikan baku tembak—Revolusi adalah potret besar perjuangan 1945–1949.
Bahasanya hidup, kadang pedih, kadang getir. Reybrouck menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah bagian dari gelombang besar dekolonisasi dunia.
Membacanya, kita seperti ikut berjalan di jalanan Yogyakarta saat agresi militer, atau berdebar di ruang sidang PBB ketika nasib bangsa dipertaruhkan.
5. Imagined Communities – Benedict Anderson
Tidak semua buku nasionalisme hadir dalam bentuk kisah perjuangan bersenjata.
Benedict Anderson mengajak kita merenung lebih dalam: apa sebenarnya bangsa itu?
Dalam Imagined Communities, Anderson menjelaskan bahwa sebuah bangsa adalah “komunitas terbayangkan”—dibangun oleh cerita, bahasa, dan simbol yang membuat jutaan orang merasa bersaudara meski tak pernah saling bertemu.
Buku ini membuka mata bahwa nasionalisme modern lahir dari kekuatan ide dan media, bukan sekadar dari garis batas di peta. Dan Indonesia, dengan keberagaman luar biasa, adalah contoh nyata bagaimana konsep ini bekerja.
6. Nasionalisme Indonesia – NUO/UGM Press
Di tengah arus globalisasi, di mana batas-batas negara kabur oleh internet dan pasar bebas, buku ini hadir sebagai pengingat bahwa nasionalisme adalah benteng terakhir identitas kita.
Disusun oleh akademisi Indonesia, Nasionalisme Indonesia membahas bagaimana Pancasila, sejarah, dan budaya lokal membentuk daya tahan bangsa. Bukan nasionalisme yang kaku, tapi nasionalisme yang mampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati diri.
Ia relevan bagi pembuat kebijakan, pendidik, bahkan anak muda yang ingin tahu mengapa mencintai negara tidak harus berarti menutup diri dari dunia.
7. Mata Air Keteladanan – Yudi Latif
Bagaimana menerapkan nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari?
Yudi Latif menjawabnya lewat kisah nyata tokoh-tokoh bangsa—guru, petani, aktivis—yang menjalankan nilai Pancasila tanpa banyak bicara.
Setiap kisah adalah pengingat bahwa nasionalisme tidak hanya hidup di rapat-rapat atau buku sejarah, tapi juga di ladang, sekolah, dan pasar.